Skinpress Rss

Wednesday 12 January 2011

Ku Temukan Cinta Sejati Saat Diriku Mengenal Jilbab

0


Ketika kurasa hatiku sudah cukup mantap, aku ingin segera berjilbab. Saat ini aku berada di Perguruan tinggi IT jurusan Telekomunikasi,  smester tiga, di kota Metropolis ini.
“Sayang, klo aku berjilbab, gimana?” Tanyaku kepadanya saat kami sedang menikmati udara segar di sebuah tepi danau.
Lalu ia tampak terkejut, sambil menatapku lama, ia malah balik bertanya, “Emang kamu udah mantap gitu, Din?”
“Emang kenapa? Salah ya?”
“Iya, jangan sampai kamu udah pakai terus lepas lagi. Kamu tau kan pakai jilbab itu nggak gampang. Klo nggak sabar dan niatnya nggak mantap, bisa jadi nggak kuat…?”
“Yang, gimana sih, nggak suka ya aku pakai jilbab?”
“Bukan gitu, Sayang, demi Allah aku senang banget, klo kamu punya niat begitu mulia. Justru aku akan lebih bersyukur, klo kamu beneran serius. Karena Si Putri imutku ini telah insyaf..hehehee…..”
“Ihh, Dasar kamu ya!!”
“Din, sebenarnya kita dosa nggak sih? Coba dengar kata orang-orang yang lebih paham agama…. mereka bilang nggak ada pacaran dalam Islam kan!!”
Aku termenung sejenak, bingung, tapi….
“Jadi hubungan kita…..”
“Aku menganggap kamu itu bukan sekedar pacar doang, bahkan lebih dari itu, Din. Aku nggak bisa lepasin kamu, mudah-mudahan ini yang terakhir untukku. Kamu mau kan, nugguin aku?”
“Untuk apa?”
“Jika aku sudah siap, aku akan menikah denganmu, mau ya, Din?”
“Terus aku nunggu sampai kapan. Sampai…..”
“Sampai tua maksud kamu…..  Ya, enggaklah!”
Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatiku, aku nggak bisa berucap sekata-kata apapun. Tapi aku sangat bahagia, bahagia banget.
“Enggak deh!”
“Yeee,….gimana sih? Katanya sayang sama aku?”
“Iyah deh, takut amat sih?”
“Kok nggak pake sayang, sih?”
“Husss…. kamu nih, banyak banget maunya. Masa akhwat gitu sih?”
“Biarin, bilang sayang dooong…!! Di sini kan nggak ada yang dengar kok!” Jawabnya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
“Tadi kan ukhti bilang apa? Ukhti bilang sayang kan, sayang sama akhi. Akhi Eric-ku tersayang, hohohoo??”
“Gitu Dong, ahh!”
“Gimana sih,….ikhwan kok nembak akhwat…haram tuh, hehehe.”
“Din, daripada di sini kamu ngerjain aku terus, mendingan jalan yukk!”
“Enggak ahh, mana ada sih, ikhwan ngajak akhwat keluar?”
“Emang kamu udah beli jilbab, sama baju dan rok, gitu?”
“Udah.”
“Ya udah. Tapi aku pengin beliin jilbab untuk kamu?”
“Ya boleh sih. Tapi harus mahal ya?”
“Huhh, dasar kamu nih, bercanda melulu dari tadi!”
“Berarti hari ini, terakhir aku bisa melihat rambut kamu yang panjang terurai.”
Aku hanya tersenyum menatapnya.
“Istiqamah ya, sayang?”
“Insya Allah?” jawabku.
“Sayang…???” Godanya.
“Ehh, ikhwan nggak boleh bilang sayang sama akhwat…..???”
“Maaf Deh, Sayang?”
“Tuh, kan….!!!” Aku menjitak kepalanya.

                                                ****@@****

Hari terus berlalu, hubungan kami terus berjalan menyusuri selang waktu dan membiarkan semua cinta berjalan bersama dengan iringan waktu dan seperti arus air yang terus mengalir.
“Kita harus mencoba menjadi yang lebih baik lagi, ya, Din?”
“Iya, Honey?”
“Tapi kita tidak akan seperti ini terus, kita harus punya tujuan dan harapan ke depan. Klo kita jodoh, semua akan baik-baik saja.”
“Iya, klo nggak jodoh, gimana?” Tanyaku.
“Yah, di usaha’in dong!”
“Caranya??”
“Berdo’a, terus paling nggak usaha tetap jalan  gitu….”
“Usahanya gimana?”
“Yah, kamu jangan mau nikah sama orang lain, gitu!”
“Hehehe…jadi ceritanya nggak rela nih!” Jawabku.
“Emang kamu juga rela klo aku nikah sama akhwat lain?”
“Ya, enggaklah, atau mungkin juga iya.”
“Bohong nih!”
“Kayaknya kita nggak cocok jadi ikhwan-akhwat sejati ya?”
“Enak aja, kamu kali…aku udah jadi ikhwan sejati sejak lahir tau.”
“Wuiihhh….mana ada ikhwan nembak akhwat??”
“Ya mau gimana? Abis akhwatnya yang duluan sih?”
“Husss! Udah-udah, dilarang nge-gombal terus, entar setan lewat, lho!”
“Huss..husss….pulang sana!”
“Ya udah, aku beneran pulang, nih, jadi aku ninggalin kamu di sini sendirian? Jangan lupa Istiqamah, tunggu aku ngelamar ya? Trus jangan nikah duluan, lho! Awas ya?”
“Sapa ya? Ya itu sih, kecuali pake DP.”
“DP??” Ngaco kamu!”
Sayang…. Jangan pergi ninggalin aku, aku takut nih! Tadi aku cuma bercanda kok..uhhh??”
                                              
                                                        @~**@**~@
Suatu hari gossip pun beredar di kampus. Anak jurusan Teknik Elektro dan Telekomunikasi, kalau mereka berdua selama ini pacaran dan akan segera menikah dalam waktu dekat. Tentu saja asing bagi semua orang, dimana Eric adalah Aktivis Dakwah Islam di kampus yang juga berprestasi. Gimana orang akan bertanya-tanya…. Secara, Dia di kagumi banyak cewek-cewek di kampus… karena orangnya asli baik banget meskipun penampilannya agak norak dikit yang hanya peduli dengan buku-buku sebagai teman sejatinya, daripada harus bergaul dengan orang-orang di luar sana. Tapi, dia itu sangat dewasa menyikapi segala hal… Maka dari itu, kami jarang banget berdebat atau bertengkar hanya karena persoalan yang sama sekali bisa untuk di selesaikan.
 “Din, udah sampai mana gossip tentang kita?”
Saat dia menemuiku di rumah sepulang dari kampus…. Saat itu, memang jarang ada pertemuan lagi, hanya klo udah kangen banget, biasanya di rumah baru nelpon. Kesibukkan masing-masing yang selalu membatasi pertemuan kami, lagian kami emang menjaga jarak, Aku juga mulai aktif bersama dalam forum Islamiah di kampus bergabung bersama ukhti-ukhti lainnya. Maka dari itu, apa kata mereka jika kami kedapatan bersama dan menimbulkan banyak fitnah.
“Udah sampai ke laut, bête banget kan!!”
“Kamu merasa terganggu kan?”
“Sangat dan sangat!!”
“Begitupun aku, Din.”
“Trus gimana solusi??”
“Justru itu, Din. Gimana caranya biar orang nggak menyangka kita pacaran betulan…”
“Emang selama ini kita nggak pacaran, ya?”
“Kamu tau kan, Si Rihan…senior yang sejurusan denganku, katanya bulan depan dia akan menikah.”
“What!!! Married….bukannya dia agak ketinggalan kuliah, sampai 2 tahun menunggak belum juga lulus-lulus.”
“Maka dari itu, Din. Dia married agar kuliahnya cepat kelar, biar ada yang nyema-ngatin gitu.”
“Ahhh, itu sih, dia-nya aja udah kebelet, takut nggak bakal laku kali!”
“Emang nggak boleh, justru bagus dong! Daripada di fitnah orang terus.”
Aku hanya terdiam dari tadi….” Betul juga, sih…….
“Emang dia udah kerja, gitu??!”
“Ya, udah, ngajar-ngajar privat, jual-jualan kayak salesman, gitu.”
“Ohh, emang cukup ya, buat hidup setelah married?”
“Dinda, rezeki itu, kan di tangan Allah. Lagian janji Allah itu kan pasti Benar. Allah menjanjikan akan memberikan rezeki kepada setiap orang yang menikah karena Allah.
“Iya, sih! Tapi klo setelah menikah, kuliah malah terbengkalai, gimana?”
“Itu sih, urusan hasil akhir. Itu kan sudah wilayah Allah dan sudah menjadi wewenang Allah, Dia Maha Tahu apa yang akan kita lakukan. Yang penting usahanya dulu.”
“Yah, iya juga sih, sapa nih akhwat yang beruntung mendapatkannya?”
“Risma, akhwat jurusan Kesehatan, se-angkatan juga.”
“Waaahhh…nggak takut fitnah, nih?”
“Justru itu, Din, klo mereka udah married, kan nggak ada lagi fitnah-fitnah’an klo mereka berduaan. Lagian juga nggak was-was, nggak takut dosa lagi, kan udah halal tuh….”
“Huss, kamu nih!”
“Trus kita gimana… sama juga kan?” kataku dalam hati, saat aku terdiam sejenak. Mungkin ini satu-satunya solusi yang coba dia tawarkan pada hubungan kami.
“Klo kita married juga, gimana, sayang?”
“Tuh, kan! Udah deh. Kita ini masih kuliah, aku ingin kerja dulu, terus itu kuliah lagi…”
“Trus, kapan married-nya…??” Potongnya.
“Ya, klo udah siap.”
“Sekarang belum siap, ya, Din?”
“Belum, masih pengin hirup udara segar, masih pengin bebas dan melakukan banyak hal, masih pengin gila-gilaan sama teman-teman.”
“Klo aku bilang, aku udah siap, gimana?”
“Yah, udah married aja dulu.”
“Sama sapa? Sama akhwat lain. Kamu rela, tuh?”
“Ya, relakan aku.
Namun aku belum siap. Mau jadi apa rumah tanggaku nanti? Aku nggak terlalu bisa masak, masih suka bareng sama teman-teman, masih suka bangun siang, masih suka egois. Kasian banget kan, suamiku entar! Padahal apa-apa pengin di layani, tau deh, kebiasaan kamu seperti itu kan.
“Kan bisa di atur entar, sayang? Semua hal yang dimulai dari kecil dengan cara belajar.
Dan aku, udah ngomong sama Kanda Irsan.”
Kanda Irsan adalah pimpinan jamaah Dakwah di Kampus. Jadi dia bertanggung jawab dan berhak tahu atas persoalan ini. Termasuk soal pribadi yang menyangkut ikatan pernikahan.
“Ihh, kok gitu sih!” Aku kaget seketika.
“Terus sama akhwat mana?”
“Aku bilang, aku mau menikah dengan akhwat jurusan Telekomunikasi, namanya Ukhti Dinda Aditya ‘Eric’….”
“Kok, gitu? Kok, kamu nggak Tanya aku dulu sih…??”
“Emang, kamu nggak mau nikah sama aku?”
“Bukan itu masalahnya, sayang? Kan aku udah bilang, belum siap!!”
“Kita bisa belajar setelah nikah, sayang? Daripada ketimpa gossip terus…”
“Nggak gitu juga logikanya, dong! Itu sama aja membenarkan gossip yang beredar.”
“Ya, paling nggak, kita bisa bilang nanti, Nih, kita udah married, lho!”
“Terus Ibu sama Bapak, gimana?”
“Itu sih, urusannya nanti, yang penting kamu setuju dulu.”
“Kamu, maksa aku?”
“Enggak….kenapa, Din? Apa…. apa kamu enggak mau menikah denganku?”
Aku menarik nafas panjang.
“Bukan gitu sayang, hanya belum siap.”
Itu terus yang ada di pikiranku, entah apa yang harus aku katakan padanya setiap kali pertanyaan itu bertubi-tubi menghujam pikiranku. Apa yang sebenarnya aku mau, sih, jelas-jelas udah di depan mataku. Kenapa mesti aku berpikir lagi, lagi dan lagi… apa dia yang terlalu serius seakan-akan aku akan meninggalkannya nanti. Mungkin satu hal itu, yang paling dia takutkan. Maybe…!
“Kita memang nggak akan pernah sampai pada kesiapan seratus persen untuk menikah, Din, dengan siapa pun dan kapan pun.”
“Kata siapa?”
“Menurut pengalaman orang-orang, terus kata senior-senior aku… lagian juga kesiapan kita menikah seharusnya sama dengan kesiapan kita untuk mati syahid.”
Aku tertunduk, termenung, “Memangnya menikah selalu semudah yang dibayangkan?”
“Ya sudah, terserahlah!”
“Maksudnya.” Tanyanya, bingung.
“Ya, suka-suka aku dong, aku nggak janji, lho! Yakin banget sih, klo aku bakal terima?”
Ia cemberut, lalu tersenyum. Ia ngerti maksudku dibalik perkataanku tadi.
Mungkin karena niat dan perasaan yang sama akan terus bersama.

Sungguh aku takut mengakui bahwa aku ternyata belum bisa berpaling darinya, untuk melapangkan jalanku menuju Cinta-Nya.
Apa benar, aku akan menikah dengannya, karena aku lebih mencintai Allah daripada mencintainya?
 “Amiin!!”










0 comments: